Categories
Opinion

Quiet Quitting, Atasi Stres di Dunia Kerja

Banyak para pegawai yang overworking atau kelebihan kerja sehingga dirinya menjadi tersiksa. Alih-alih semakin produktif, justru hal tersebut bisa menyebabkan produktivitas menurun dan terjadinya banyak masalah. Untuk itu, butuh keseimbangan kehidupan pribadi dan dunia kerja atau sering disebut work life balance.

Saat ini banyak karyawan yang tidak ingin tersiksa karena pekerjaan yang diforsir tetapi juga tidak ingin berhenti dari pekerjaan. Kondisi tersebut sering dimaknai dengan istilah quiet quitting yang saat ini marak diperbincangkan.

Apa Makna Quiet Quitting?

Secara harfiah, quiet quitting dapat diartikan sebagai ‘berhenti diam-diam’, tetapi dalam pelabelannya makna tersebut justru terkesan keliru. Pada kenyataannya, gagasan tersebut dapat diartikan sebagai metode bekerja yang biasa-biasa saja.

Dalam kata lain, quiet quitting merupakan sebutan untuk cara bekerja yang tidak kelewat serius sehingga melakukan pekerjaan seadanya dan tidak menganggap pekerjaan sebagai hal yang terlalu membebani. Para pegawai dapat menjalankan pekerjaan sesuai dengan upah yang diterimanya serta berhak untuk menolak pekerjaan tambahan tanpa ada bayaran yang sepantasnya.

Bagi sebagian orang, quiet quitting berarti melihat perusahaan atau tempat bekerja secara apatis, bekerja tanpa inisiatif pasif, dan selalu menyimpan inisiasi jika tidak diminta menyampaikannya. Bisa dikatakan quiet quitting bertolak belakang dengan hustle culture.

Meski demikian, meskipun terkesan menerapkan metode dan budaya yang apatis dalam bekerja, ternyata gagasan ini memberikan dampak positif bagi pegawai. Dalam hal ini, quiet quitting sangat selaras jika diterapkan untuk para pekerja milenial dan generasi Z.

Hal ini dapat dijadikan sebagai siasat untuk terlepas dari stres saat bekerja, menolak eksploitasi atasan, lepas dari instruksi bos ketika sedang istirahat, bornout, dan lebih tenang menghadapi pekerjaan.

Pentingnya Menerapkan Quiet Quitting Dalam Bekerja

Para karyawan yang melakukan pekerjaan secara overworking baru menyadari setelah sekian lama bahwa cara mereka dalam bekerja tidak membawa karier mereka ke mana-mana bahkan tidak berpengaruh terhadap meningkatnya produktivitas.

Anehnya lagi, para pegawai tidak melihat hasil dari usahanya yang berlebih, sehingga akhirnya sepenuhnya sadar bahwa bekerja berlebihan tidak memberikan dampak positif apa pun.

  1. Memiliki Waktu Produktif Untuk Diri Sendiri

Menyadari hal tersebut, saat jam kerja usai maka komputer harus ditutup, tidak menerima pesan dan telepon yang berhubungan dengan pekerjaan, dan lebih memiliki keberanian untuk mengatakan ‘tidak’ untuk pekerjaan tambahan.

  1. Tampil Standar dalam Pekerjaan

Dengan begitu waktu tersebut dapat dihabiskan untuk kegiatan lain yang bisa memberikan kesenangan untuk diri sendiri, misalnya dengan melakukan hobi, mengobrol dengan keluarga, menghibur diri, atau mengerjakan hal lainnya selain bekerja.

Saat ini banyak karyawan yang berusaha menerapkan metode quiet quitting untuk menciptakan work life balance. Inilah pentingnya quiet quitting untuk tetap tampil standar pada sektor-sektor pekerjaan.

  1. Memisahkan Identitas Pribadi dari Karier

Bagaimanapun juga, para pekerja ingin memisahkan identitas pribadi dengan karier. Hal inilah yang menyebabkan mereka tidak ambil pusing perkara jenjang karier dan tidak terlalu berambisi untuk menduduki posisi jenjang yang lebih tinggi.

  1. Bekerja Sesuai Gaji

Selain itu, para karyawan juga cukup mempertimbangkan jobdesk pekerjaan mereka dengan gaji yang diterima. Bahkan ketika mereka overworking dan bekerja melebihi waktu yang telah ditentukan, perusahaan tidak memberikan gaji atau upah yang lebih.

Hal tersebut kemudian ramai diperbincangkan di berbagai sosial media, terutama di Twitter yang kemudian muncul usul jargon “acting your wage” yang artinya bekerja sesuai gajimu.

  1. Memiliki Kehidupan yang Ideal

Tujuan utama dari metode quiet quitting dalam bekerja yaitu untuk menghadirkan work life balance di kehidupan para pekerja yang ideal. Selain itu juga sebagai batasan yang sehat antara diri sendiri sebagai karyawan dan sebagai manusia pribadi.

  1. Menakar Quiet Quitting yang Ideal

“Jika atasan menghendaki para karyawan bekerja lebih, maka berilah dengan kompensasi yang sepadan”, pernyataan tersebut disampaikan oleh Ed Zitron kepada NPR. Gagasan quiet quitting perusahaan kepada para karyawan.

Untuk menerapkan metode quiet quitting, para karyawan masih bekerja sesuai dengan tugas pokok dan kapasitas masing-masing sepadan dengan kesepakatan dan upah yang sebelumnya sudah disepakati oleh perusahaan dan karyawan. Jadi karyawan tidak dibingkai seperti villain.

Sebagai karyawan, penting untuk menakar quiet quitting sebagai salah satu cara untuk memisahkan kehidupan pribadi dengan karier. Fenomena quiet quitting selaras dengan istilah bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja. Untuk itu, para pegawai perlu memahami bagaimana memposisikan pekerjaan dalam kehidupan masing-masing.

Meskipun demikian, masih ada sebagian orang yang beranggapan bahwa cara ini sering kali menjadi salah satu indikator pertanda seorang pegawai akan berhenti dari pekerjaannya. Padahal quiet quitting menjadi strategi dan siasat untuk melindungi diri dari dampak tekanan pekerjaan serta menjaga kesehatan fisik dan mental di lingkungan kerja yang cenderung toxic.

Bagaimanapun juga, bertahan dengan pekerjaan yang memberikan tugas lebih dari kapasitas yang dimiliki, tidak akan memberikan dampak positif apa pun. Sebenarnya quiet quitting dapat diterapkan untuk semua sektor pekerjaan, terutama bagi perusahaan yang memberikan jobdesk lebih kepada karyawan tanpa memenuhi ekspektasi pegawainya.

Dalam menerapkan metode quiet quitting di pekerjaan, perlu menakar dengan baik sehingga tidak berlebih melakukan hal yang apatis terhadap pekerjaan. Bagi para karyawan yang menerapkan metode quiet quitting juga harus lebih waspada. Perubahan situasi pasar tenaga kerja terus terjadi dan dapat memberikan dampak buruk terhadap mereka masuk pada daftar PHK.

Tidak semua karyawan bangga dengan pekerjaan yang dimilikinya, apalagi memiliki keinginan untuk memberikan hal lebih bagi perusahaan. Nyatanya, saat ini banyak orang yang lebih memilih mengerjakan tugas sesuai dengan kapasitas dan memutus semua akses komunikasi yang berkaitan dengan pekerjaan saat jam kerja usai. Di era kini, quiet quitting menjadi strategi dan yang diterapkan untuk pekerja milenial dan gen Z.

Rekomendasi

More From Author